30 Desember 2008

Cinta, Bukan dari Mata Turun ke Hati

Cinta, Bukan dari Mata Turun ke Hati

Cinta menjadi bahan pembicaraan yang tak lekang oleh waktu, menjadi sumber kebahagiaan, dicari बन्यकorang, namun juga menjadi sumber kepedihan dan masalah dalam hubungan antarpribadi।

Tayangan televisi kita pun dipenuhi dengan cerita cinta, lagu-lagu remaja maupun orang dewasa kebanyakan bercerita tentang cinta. Media cetak juga banyak mengulas masalah cinta, bahkan dunia bisnis pun mengandalkan cinta, seperti hari kasih sayang.

Banyak orang dengan sukarela melakukan apa saja demi cinta. Apakah cinta itu sebenarnya? Apakah cinta merupakan bawaan intrinsik yang khas manusiawi, ataukah dipelajari melalui sosialisasi budaya?

Cinta secara populer dikaitkan dengan perilaku seksual, termasuk hubungan seks. Salah satu acara televisi kita bertema cinta dan kehidupan, tetapi yang dibicarakan nyaris menyempit ke masalah perilaku seksual, terutama masalah hubungan seks.

Apakah cinta sebangun dengan hubungan seks yang bersifat biologis? Cukup banyak orang, dengan berbagai argumen, lebih suka mengakui bahwa cinta sebagai sesuatu yang jauh lebih anggun dan agung daripada sekadar hubungan seks. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, hal itu berkaitan dengan hubungan antarpribadi. Hubungan seks lebih banyak dibicarakan sebagai penentu kebahagiaan perkawinan ketimbang cinta romantis maupun kesetiaan pada satu pasangan.

Dengan semakin maraknya pembicaraan terbuka mengenai perselingkuhan, publik Indonesia secara tidak disadari sedang berada dalam proses conditioning atau vicarious learning (belajar dari pengamatan atas pengalaman orang lain) bahwa selingkuh itu biasa dan terbukti tidak selalu berdampak buruk. Namun, perlu diingat, sampai kapan pun hantu penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS tetap bergentayangan.

Di mata remaja, cinta romantis diantisipasi sebagai salah satu anak tangga menuju perkawinan yang bahagia meski belakangan disinyalir ada pergeseran yang cukup kasat indra ke arah pemanjaan pemuasan naluri biologis melalui berbagai bentuk perilaku seksual secara lebih terbuka. Publikasi media masa boleh jadi merupakan salah satu faktor pendorong yang kuat.

Di kalangan orang dewasa, hubungan seks banyak disoroti sebagai kunci kebahagiaan perkawinan. Di masa kini, hubungan seks yang memuaskan nyaris dimitoskan sebagai unsur terpenting kandungan ramuan mujarab untuk mempertahankan ikatan perkawinan, bahkan dianggap lebih penting daripada cinta, kesetiaan, ataupun komitmen terhadap pasangan.

Di masa lalu, romantisasi cinta mungkin pernah menjadi strategi efektif untuk mencegah hubungan seks dini atau hubungan seks sembarangan yang dikhawatirkan menambah rumit kehidupan. Di masa kini, cinta romantis mungkin cuma tersisa pada roman ’’usang’’ karangan Barbara Cartland. Penulis lain menganggap perlu memasukkan unsur hubungan seks agar cerita menjadi lebih ’’realistis.’’

Perselingkuhan
Hasil penelitian dan kajian sebagian pakar ilmu perilaku mengenai cinta, antara lain Michael Mills dari Universitas Loyola Marymount di Los Angeles, mengemukakan bahwa cinta adalah bisikan para leluhur di telinga kita. Apa maksudnya? Kajian evolusional sampai pada salah satu kesimpulan bahwa cinta romantis berfungsi merekatkan laki-laki dan perempuan dalam hubungan jangka panjang yang amat penting dalam rangka merawat dan membesarkan anak.

Secara alamiah, cinta romantis memang tidak abadi, tidak pula bersifat eksklusif, hanya tertuju pada satu orang. Lebih jauh dikatakan bahwa hanya lima persen dari mamalia yang bersifat setia pada satu pasangan. Jadi, pola hubungan antarjenis di antara manusia selama ini lebih bersifat monogamy with clandestine adultery (secara formal sosial punya satu pasangan, namun secara sembunyi-sembunyi mungkin juga punya selingkuhan).

Kesimpulan itu dapat membuat peselingkuh bernapas lega bahwa ada dasar ekologis-biologis atau pembenaran biologis mengenai tindakan mereka.

Hubungan seks selingkuh tersebut mempertinggi kemungkinan terjadinya kombinasi gen yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya yang mungkin lebih tangguh untuk menghadapi kehidupan di masa depan. Perlu dicatat bahwa perselingkuhan bukan monopoli kaum laki-laki, perempuan pun di masa primitif kerap menyelinap ke balik semak untuk bercengkerama dengan pasangan selingkuhnya.

Mungkin kesejarahan para perempuan masa primitif itu secara tidak sadar selama berabad-abad diturunkan pada kaum perempuan sehingga sebagian di antara mereka pun menjadi semacam petualang cinta (baca: seks). Lalu, bagaimana argumentasi psikolog yang mengklasifikasikan cinta sebagai emosi yang bersifat psikologis?

Kecerdasan Emosional
Semakin mendalam diteliti, emosi yang bersifat psikologis (dan dipandang seakan terpisah dari yang biologis) ternyata asal-usulnya dari yang biologis juga.

Melalui pembicaraan mengenai kecerdasan emosional, cukup banyak dibicarakan bagian otak primitif yang disebut sebagai sistem limbik. Dari sanalah datangnya emosi, termasuk cinta, bukan dari mata turun ke hati, seperti kata orang selama ini. Ada reaksi kimiawi yang terjadi dalam tubuh kita, mulai saat beradu pandang sampai pada saat kita menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta.

Ketika seseorang beradu pandang, bersentuhan, mencium aroma alami atau wewangian pada orang lain, semua pengalaman indrawi ini dikirim ke otak yang selanjutnya memicu berbagai kelenjar untuk memproduksi berbagai unsur kimiawi, termasuk dopamine, norepinefrine, dan phenylethylamine (PEA).

Arus kimiawi yang dipicu otak tersebut diteruskan ke serabut syaraf dan pembuluh darah di seluruh tubuh.

Akibatnya sudah dialami oleh banyak orang, seperti wajah yang bersemu merah, telapak tangan berkeringat, napas tersengal, dan jantung berdebar kencang. Mirip gejala stres.

Ya memang, karena arus kimiawi berlangsung melalui jalur yang sama. Namun, arus PEA tersebut tidak berlangsung lama. Kenyataan itu mendukung pengamatan bahwa gairah cinta romantis hanya berumur pendek.

Sebagaimana reaksi tubuh terhadap amfetamin (PEA dan kawan-kawan adalah sepupunya amfetamin), tubuh juga membangun toleransi terhadap PEA sehingga semakin lama dibutuhkan semakin banyak PEA untuk menimbulkan reaksi fisik yang sama dengan yang terjadi ketika kita pertama jatuh cinta.

Pencandu Cinta
Di tahun keempat, tubuh sudah memiliki toleransi yang tinggi terhadap PEA yang tidak cukup terpenuhi oleh pasokan PEA yang diproduksi tubuh kita.

Kekurangan pasokan PEA menghentikan gejala mabuk kepayang, gairah cinta romantis, yang pada sebagian orang merupakan tanda awal pupusnya cinta atau berakhirnya daya tarik hubungan intim dengan pasangannya.

Gejala itu terutama tampak pada para pencandu cinta, meminjam istilah Michael Lebowitz dari Lembaga Psikiatri New York. Ketika pasokan PEA menurun, terjadilah gejala putus PEA. Para pencandu cinta tersebut mulai ketagihan, merasa amat mendambakan atau keranjingan pengalaman jatuh cinta.

Hal itulah yang mendorong mereka berkelana dari satu affair ke affair yang lain, ketika arus cinta romantis dirasakan mulai memudar. Di lain pihak, cukup banyak cinta romantis yang mampu bertahan melalui waktu yang panjang.

Mengapa demikian? Masih seputar unsur kimiawi, dikatakan bahwa kehadiran pasangan yang sama terus-menerus secara bertahap akan meningkatkan produksi endorfin.

Berbeda dengan amfetamin yang memicu gairah, endorfin berdampak menenangkan. Seperti penghilang rasa nyeri, endorfin memberi rasa tenang, aman, dan damai pada seseorang.

Karena itulah, seseorang merasakan kepedihan ketika ditinggalkan atau kematian orang yang dicintainya, dan merindukan orang yang bersangkutan. Kehilangan orang yang dicintai membuat berkurang atau putusnya pasokan endorfin di tubuh kita. Ada perbedaan gejala cinta yang diamati Mark Goulston berkaitan dengan pasokan PEA, dan endorfin pada beberapa kelompok orang.

Cinta monyet adalah jenis cinta yang dirasakan ketika seseorang mencintai orang lain karena perasaan yang ditimbulkan orang lain itu pada dirinya. Cinta dewasa (bukan gorila yang lebih besar dari monyet) adalah rasa cinta yang muncul karena pribadi orang yang kita cintai.

Menurut dia, di situlah letak perbedaan cinta yang bergairah menggebu (passionate love) dan cinta penuh kelembutan kasih sayang (compassionate love).
(Dra Shinto B Adelar MSc Pembaruan)

Tidak ada komentar: